Tradisi Penulisan Ilmiah di Pesantren
15/07/2009
Sebagai kelanjutan dari padepokan zaman Hindu, pesantren merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan terdepan sejak agama itu menyebarkan pengaruhnya di Nusantara ini, terutama sejak runtuhnya Majapahit. Sebagai pusat ilmu pngetahuan dan kebudayaan, pesantren giat dalam melakukan berbagai bidang keilmuan.
Hampir semua sarana penulisan seperti kertas, tinta dan pena dibuat sendiri oleh masing-masing pesantren. Kalau zaman Hindu dan Budah tulisan masih dibuat di atas batu, kulit binatang atau lontar, maka pada zaman Islam telah ditemukan dluwang, kertas yang terbuat dari pohon salak. Dengan demikian naskah bisa ditulis lebih runtut dan bisa dijilid lebih rapi.
Pesantren Tegalsari Ponorogo tempat belajar pujangga besar Yosodipuro dan Ronggowarsito, merupakan produsen dluwang yang sangat besar, sehingga sebagian dijual ke keraton Surakarta. Demikian juga beberap pesantren lain seperti Tegalrejo juga memasok dluwang ke ibu kota kerajaan itu, sehingga penulisan naskah juga berkembang semakin dinamis.
Tidak aneh kalau kemudian para sarjana Barat baik dari Belanda, Inggris, dan Jerman mengkaji terus naskah-naslah tersebut. Para pujangga kerajaan yang menulis berbagai karya sastra keagamaan, baik dalam bentuk serat maupun babat tersebut juga alumni pesantren.
Baru setelah kolonialisme masuk, maka kertas dari negeri Cina dan Arab mulai banyak digunakan, kemudian disusul masuknya kertas dari negeri Belanda. Hadirnya kertas impor itu secara perlahan menutup produksi dluwang di lingkungan pesantren yang memang dikerjakan dalam industri rumah tangga, bukan dikerjakan dalam pabrik dengan kapasitas yang besar. Akhirnya salah satu sumber penghidupan pesantren dalam pembuatan kertas dan tinta mulai hilang, sehingga makin tergantung dengan kertas impor. Ditambah lagi dengan ditemukannya mesin cetak, kertas dluwang hampir tidak dibutuhkan, karena percetakan dibuat khusus untuk mencetak di atas kertas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar