Kitab dan Buku
Mungkin karena banyaknya hal-hal aneh di negeri ini, maka orang seperti tidak merasa aneh lagi dengan adanya penggunaan istilah-istilah yang sebenarnya aneh. Di negeri ini, misalnya, ada istilah sekolah dan madrasah yang pengertiannya setali tiga wang. Maka lucu sekali ketika ada orang mengatakan, “Anak saya sekolah di madrasah anu.”
Anehnya lagi, selaras dengan hal tersebut, di negeri ini di samping ada toko buku, ada pula toko kitab. Orang “sekolahan” kalau mencari buku di toko buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko kitab. Toko buku seperti Gunung Agung, Gramedia, dsb, ketika itu, hanya menjual buku-buku yang bertulisan Latin; sementara yang ada tulisan Arabnya, toko kitablah–seperti Toha Putra, Menara Kudus, Salim Nabhan, dsb.-- yang menjualnya.
Apalagi “kitab kuning”, jangan harap Anda menemukannya di toko buku. Terjemahan-terjemahannya saja pun hanya dijual di toko kitab; karena biasanya terjemahan kitab-kitab kuning yang diterjemahkan tokoh-tokoh pesantren itu pun selalu ada tulisan Arabnya.
Demikianlah; seiring dengan pikiran salah kaprah tentang adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, maka madrasah (dan pesantren) dianggap tempat belajar agama dan kitab yang dijual di toko kitab dianggap bacaan agama. Sedangkan sekolah dianggap tempat belajar umum dan buku yang dijual di toko buku dianggap sebagai bacaan umum.
Baru belakangan--dugaan saya sejak orang-orang Barat menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab seperti kitab-kitabnya Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Mauddudi, dan menarik perhatian “Muslim-muslim kota”-- toko-toko buku seperti Gramedia mulai menjual “kitab-kitab”; terutama kitab-kitab terjemahan “bacaan agama”. Kebanyakan “kitab-kitab” yang dijual di toko buku itu bukanlah kitab-kitab yang biasa dijual di toko kitab. Juga umumnya “kitab-kitab” baru yang mulai dijual di toko buku itu adalah terjemahan dari bahasa Barat utamanya bahasa Inggris; tidak seperti kitab-kitab yang selama ini dijual di toko kitab.
Boleh jadi, ketertarikan orang Barat terhadap kitab-kitab para tokoh semisal Hasan Banna (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966), dan Mauddudi (1903-1979) itu, ada kaitannya dengan gerakan-gerakan militan yang mulai merebak di dunia. Sementara orang-orang kota di kita, umumnya dari kampus-kampus, tertarik menerjemahkan kitab-kitab tersebut mungkin karena merasa cocok. Orang-orang kotalah yang galibnya paling bisa merasakan ketertindasan rezim Suharto. Sehingga ketika mereka membaca kitab-kitab karangan para tokoh yang tertindas itu (Hasan Al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimiin, ditembak, Sayyid Quthub digantung setelah lama mendekam di penjara rezim Jamal Abdun Nasser, dan Al-Maududi nyaris–sudah divonis-- hukuman mati tahun 1953, batal karena protes keras dari dunia Islam).
Maka sekarang ini, bila Anda masuk ke toko buku, Anda akan menjumpai rak-raknya yang penuh dengan “kitab” dan “bacaan agama”; termasuk buku-buku terjemahan dari kitab-kitab kuning.
Waba’du; sengaja saya menyebut nama Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Maududi ketika berbicara tentang “kitab-kitab” yang mulai menyerbu toko-toko buku, karena saya perhatikan seperti ada korelasi antara masuknya pikiran-pikiran para tokoh tertindas tersebut dengan munculnya semangat keberagamaan yang menyala-nyala terutama di kota-kota dan kemudian munculnya paham Islam yang garis keras (termasuk yang “super keras” yang dianut para teroris). Hal ini mengingatkan kepada pikiran-pikiran para tokoh generasi sebelumnya semacam Jamaluddin Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang mempengaruhi dunia Islam pada zamannya. Bahkan, sampai sekarang pengaruhnya masih terasa. (gus nus.net)
disini tak ada penyesalan yang ada hanya cinta ALLAH dan Rosulullah SAW disamping mengerti akan haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama
Selasa, 15 Desember 2009
Minggu, 13 Desember 2009
Entahlah Ya Alloh..
Entahlah....Ya Alloh
Sungguh, aku mencintai mereka yang hadir dalam hidupku dengan sepenuh hatiku.
Kebahagiaan mereka, kebahagiaanku juga. Duka nestapa mereka, kesedihanku juga. Pengorbanan mereka belum sanggup aku untuk membalasnya dengan persembahan terbaikku.
Sungguh, aku mencintai kalian dalam diamku, aku menyayangi kalian dalam wajah dinginku, aku menyangga kesedihan kalian dalam do'aku. Walau jarang aku menyapa, walau jarang aku berkata, walau jarang aku tertawa, sungguh, aku selalu hadir di dekat kalian.
Melihat mereka, merasakan rasa mereka, sering menghadirkan keharuan yang menyeruak di sudut sunyi hati ini. Rasa sesak di dalam dada dan terkadang memaksa sudut mata ini untuk menitikkan sebulir air. Entah apa namanya…. air mata keharuan, air mata kesedihan atau sekedar air mata kecengengan belaka.
Lebih sedih lagi, kalau kulihat diri ini sendiri, kalu kulihat hati ini sendiri.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan noda dan dosa.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan cela.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan gelegak nafsu yang membara.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan bahan bakar neraka.
Entahlah.....
Aku Hanya Bisa Berbaik sangka padaMU,..
Sungguh, aku mencintai mereka yang hadir dalam hidupku dengan sepenuh hatiku.
Kebahagiaan mereka, kebahagiaanku juga. Duka nestapa mereka, kesedihanku juga. Pengorbanan mereka belum sanggup aku untuk membalasnya dengan persembahan terbaikku.
Sungguh, aku mencintai kalian dalam diamku, aku menyayangi kalian dalam wajah dinginku, aku menyangga kesedihan kalian dalam do'aku. Walau jarang aku menyapa, walau jarang aku berkata, walau jarang aku tertawa, sungguh, aku selalu hadir di dekat kalian.
Melihat mereka, merasakan rasa mereka, sering menghadirkan keharuan yang menyeruak di sudut sunyi hati ini. Rasa sesak di dalam dada dan terkadang memaksa sudut mata ini untuk menitikkan sebulir air. Entah apa namanya…. air mata keharuan, air mata kesedihan atau sekedar air mata kecengengan belaka.
Lebih sedih lagi, kalau kulihat diri ini sendiri, kalu kulihat hati ini sendiri.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan noda dan dosa.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan cela.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan gelegak nafsu yang membara.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan bahan bakar neraka.
Entahlah.....
Aku Hanya Bisa Berbaik sangka padaMU,..
Langganan:
Postingan (Atom)