Selamat Datang di Gubuk maya Kami
disini tak ada penyesalan yang ada hanya cinta ALLAH dan Rosulullah SAW disamping mengerti akan haknya sebagai hamba dan haknya terhadap sesama
Sabtu, 13 Maret 2010
i just wanna love you...
Aku tidak peduli dalam keadaan apa aku menjalani hari2ku, dalam kondisi yg kusukai/tidak kusukai. Karena aku tidak tahu mana yg lebih baik bagiku diantara keduanya. Karena aku hanya ingin ridha atas pengaturan ALLAH & tenang atas pilihan & ketentuan-Nya..
Minggu, 03 Januari 2010
Gus Dur dan Buku
SUATU sore, ketika senja merambah cakrawala di Jalan Matraman Kecil No 8 Jakarta, Nyai Sholehah kelimpungan mencari Abdurrahman ad-Dakhil. Putra sulung yang tempo itu berusia belasan tahun tersebut tak kunjung muncul. Ternyata, tak berapa lama Gus Dur (kecil) itu menyembul. Kepada ibunya, dia berkilah tak ke mana-mana, melainkan sejak semula membaca buku di balik daun pintu.
Cucu KH Hasyim Asy'ari -pendiri ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama- tersebut sejak kecil memang fenomenal. Zainal Arifin Thoha dalam Jagadnya Gus Dur (2003) menyebut Gus Dur adalah enigma. Gus Dur merupakan satu-satunya sosok yang sepanjang sepak terjang hidupnya selalu dikawal teka-teki dan diselubungi misteri. Sering perkataan dan perilakunya membuahkan kontroversi. Tetapi, diam-diam tak sedikit yang mengamini bahwa Gus Dur dianugerahi kecerdasan futuristis. Sehingga, apa pun kontroversi yang mengemuka diyakini perlahan-lahan dan kelak terkuak kebenarannya.
Bila dirunut ke belakang, enigma Gus Dur bermuara pada keluasan pengetahuan dan wawasan keilmuan dari hasil pergulatan dengan buku. Gus Dur dan buku bertumpu menjadi satu, ibarat dua gambar dalam sekeping mata uang logam yang nyaris tak bisa dipisahkan. Saat ditegur ibunya agar sering-sering bermain bersama teman dan tidak melulu berkarib dengan buku, sontak Gus Dur berseloroh, "Dengan membaca buku, kelak temanku seantero dunia." Maka, tepatlah Gola Gong (2006) menilai, hanya dengan bukulah dunia bisa ditaklukkan dengan mudah.
Keakraban Gus Dur dengan buku membudaya sejak usia belia. Di usia SD, kebanyakan teman seumurannya masih takjub dengan permainan masa kanak-kanak yang riang di waktu senggang, tapi tidak demikian Gus Dur. Kalau punya waktu luang, dia pasti membaca buku. Bu Aliman, salah seorang guru Gus Dur saat SD, sangat jeli melihat potensi yang laik dikembangkan tersebut. Oleh Bu Aliman, Gus Dur disarankan mulai belajar menulis. Menulis apa saja yang berseliweran di pikiran. Tak percuma, ketika ada lomba mengarang se-Jakarta di beranda 1950-an, esai Gus Dur bertajuk Pengalamanku tampil sebagai pemenang dengan hadiah Rp 75 dan dua pasang pakaian. Hadiah tersebut waktu itu sudah terbilang mewah.
Setamat SD, Gus Dur dikirim Nyai Sholehah ke sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Gowongan, Jogjakarta, seraya menimba ilmu kepada KH Ali Maksum di Pesantren Krapyak. Di Kota Budaya itu, pergelutan Gus Dur dengan buku menggila. Di mana ada Gus Dur, di situ mesti ada buku. Seolah Gus Dur melakukan perlawanan. Mendobrak kultur bisu pesantren yang melulu mendaraskan kitab kuning sebagai bacaan utama. Bisa jadi, itu tuah dari namanya, Abdurrahman ad-Dakhil, yang berarti Abdurrahman sang pendobrak. Gayung bersambut. Suatu ketika, setelah ngaji sorogan, Kiai Ali berpesan, "Kamu boleh belajar seluas-luasnya. Jangan takut. Buku apa saja boleh kamu pelajari biar pandanganmu tidak sempit."
Serasa mendapatkan suntikan semangat, hasrat Gus Dur terhadap buku berlipat. Apalagi, di SMEP Gus Dur mampu memagut simpati guru bahasa Inggris, Bu Rubiah, tidak semata-mata disebabkan kecakapannya, melainkan kepiawaian berbahasa Inggris yang rutin diasah dengan mendengarkan siaran pelajaran bahasa Inggris dari Radio Suara Amerika dan BBC London. Melalui Bu Rubiah yang juga anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) itu, Gus Dur berkenalan dengan buku-buku kiri berbahasa asing. Mulai buku berukuran tambun hingga berhalaman ramping.
Sebut saja, misalnya, novel Captain's Daughter karangan I. Turgenev, For Whom The Bell Voice tulisan Ernest Hemingway, atau La Porte Etroite karya Andre Gide. Selain novel, Gus Dur melahap habis buku politik-sosialis, seperti Romantisme Revolusioner buah pena Lenin Vladimir Ilych, Das Kapital karya Karl Marx, senarai pemikiran Lenin bertudung What is to be Done?, serta beberapa jilid buku The Story of Civilization karya Will Durant. Membaca buku-buku tersebut tak berarti tiada kesulitan menghadang. Tapi, bukan Gus Dur bila bergegas patah arang. Beberapa kamus bahasa asing tebal selalu setia mengawalnya.
Pengembaraan Gus Dur di belantara kata kian menemukan habibatnya ketika menyusuri rerimbun buku di pasar loak Jogjakarta. Di sana, dia bersua dengan pemikiran banyak penulis besar dunia. Misalnya, Gramsci, William Faulkner, Ortega Y. Gasset, John Steinbeck, Johan Huizinga, Andre Malraux, William Bochner, Mao Ze Dong, Aristoteles, Plato, Socrates, A.S. Pushkin, Dostoevsky, Trotsky, Leo Tolstoy, dan Mikhail Sholokhov.
Berbekal pengetahuan yang makin membuhul, terampil mengolah kata dan menggerakkan pena, Gus Dur kian lincah. Membaca dan menulis selalu disetimbangkan. Membaca ibarat makan dan menulis adalah sambalnya. Maka, tak heran tradisi baca-tulis Gus Dur yang penyuka makanan pedas itu oleh Wimar Witoelar dikomentari singkat: you can not eat sambal without the food. Selain itu, ulasan Gus Dur terhadap novel-novel karya Faulkner menjadi tonggak tulisan pertama yang dimuat di media massa.
Di altar 1963, Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir. Selama perjalanan, Gus Dur menamatkan buku The Age of Jackson karya Arthur Sclensinger Jr. Tapi sayang, asa kuliah di Universitas Al-Azhar bertepuk sebelah tangan karena ijazah pesantrennya tak diakui. Gus Dur tak kehilangan akal. Dia memulaskan hasrat pengetahuan dengan berselancar di atas samudera buku perpustakaan Universitas Kairo, perpustakaan USIS Kedubes Amerika Serikat, dan perpustakaan musik.
Penjelajahan dunia buku yang begitu lempeng membuat Gus Dur laiknya perpustakaan berjalan. Dia tak menyesal cita-cita menjadi tentara yang diimpikan sejak kecil pupus karena berkacamata minus. Dia menggubah haluan: ingin menjadi guru. Guru bangsa seperti Ki Hajar Dewantara dan kakeknya, KH Hasyim Asy'ari. Gus Dur dan buku memang menyatu. Bahkan, dalam kondisi kritis sebelum meninggal Rabu (30/12/2009), dia masih merajut buku. Tapi, karena fungsi indra penglihatan jauh berkurang, Gus Dur minta diperdengarkan audio book.
Buku-buku itu pula yang membentuk kepribadian Gus Dur. Sekadar tamsil, penghayatan terhadap sosok biarawati Alissa, lakon utama novel La Porte Etroite karya Andre Gide yang menyerahkan diri kepada Tuhan dan menghambakan hidup untuk menolong orang banyak, menginspirasi Gus Dur untuk bersikap serupa. Gus Dur tidak hidup untuk diri dan keluarga, melainkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan membela hak-hak kaum minoritas yang tertindas.
Itulah jawaban kenapa saat pemakaman Gus Dur di Pesantren Tebuireng pada pengujung 2009, ratusan ribu orang lintas agama dan keyakinan tak mengenal sekat, pejabat dan rakyat bercampur baur dan tertumpah ruah. Mereka larut dalam duka. Meski Greg Barton telah meretas Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, sosok Gus Dur sepenuhnya belum tereja. Sebab, Gus Dur adalah buku itu sendiri yang tak pernah tuntas dibaca.
Gus Dur secara fisik memang telah pergi. Diiringi doa dan air mata, dia meninggalkan segala yang dicintai dan semua yang mencintai. Dia mewariskan jejak-jejak keteladanan yang perlu ditapaktilasi. Namun, pada hakikatnya, Gus Dur masih hidup. Hidup di dalam hati. Setidaknya, itulah yang saya rasakan kala terseok-seok meruyak desakan kerumunan pentakziah dan bersimpuh di hadapan tanah merah makam yang masih basah.
Selamat jalan, Tuan Guru Bangsa! (*)
Cucu KH Hasyim Asy'ari -pendiri ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama- tersebut sejak kecil memang fenomenal. Zainal Arifin Thoha dalam Jagadnya Gus Dur (2003) menyebut Gus Dur adalah enigma. Gus Dur merupakan satu-satunya sosok yang sepanjang sepak terjang hidupnya selalu dikawal teka-teki dan diselubungi misteri. Sering perkataan dan perilakunya membuahkan kontroversi. Tetapi, diam-diam tak sedikit yang mengamini bahwa Gus Dur dianugerahi kecerdasan futuristis. Sehingga, apa pun kontroversi yang mengemuka diyakini perlahan-lahan dan kelak terkuak kebenarannya.
Bila dirunut ke belakang, enigma Gus Dur bermuara pada keluasan pengetahuan dan wawasan keilmuan dari hasil pergulatan dengan buku. Gus Dur dan buku bertumpu menjadi satu, ibarat dua gambar dalam sekeping mata uang logam yang nyaris tak bisa dipisahkan. Saat ditegur ibunya agar sering-sering bermain bersama teman dan tidak melulu berkarib dengan buku, sontak Gus Dur berseloroh, "Dengan membaca buku, kelak temanku seantero dunia." Maka, tepatlah Gola Gong (2006) menilai, hanya dengan bukulah dunia bisa ditaklukkan dengan mudah.
Keakraban Gus Dur dengan buku membudaya sejak usia belia. Di usia SD, kebanyakan teman seumurannya masih takjub dengan permainan masa kanak-kanak yang riang di waktu senggang, tapi tidak demikian Gus Dur. Kalau punya waktu luang, dia pasti membaca buku. Bu Aliman, salah seorang guru Gus Dur saat SD, sangat jeli melihat potensi yang laik dikembangkan tersebut. Oleh Bu Aliman, Gus Dur disarankan mulai belajar menulis. Menulis apa saja yang berseliweran di pikiran. Tak percuma, ketika ada lomba mengarang se-Jakarta di beranda 1950-an, esai Gus Dur bertajuk Pengalamanku tampil sebagai pemenang dengan hadiah Rp 75 dan dua pasang pakaian. Hadiah tersebut waktu itu sudah terbilang mewah.
Setamat SD, Gus Dur dikirim Nyai Sholehah ke sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP) di Gowongan, Jogjakarta, seraya menimba ilmu kepada KH Ali Maksum di Pesantren Krapyak. Di Kota Budaya itu, pergelutan Gus Dur dengan buku menggila. Di mana ada Gus Dur, di situ mesti ada buku. Seolah Gus Dur melakukan perlawanan. Mendobrak kultur bisu pesantren yang melulu mendaraskan kitab kuning sebagai bacaan utama. Bisa jadi, itu tuah dari namanya, Abdurrahman ad-Dakhil, yang berarti Abdurrahman sang pendobrak. Gayung bersambut. Suatu ketika, setelah ngaji sorogan, Kiai Ali berpesan, "Kamu boleh belajar seluas-luasnya. Jangan takut. Buku apa saja boleh kamu pelajari biar pandanganmu tidak sempit."
Serasa mendapatkan suntikan semangat, hasrat Gus Dur terhadap buku berlipat. Apalagi, di SMEP Gus Dur mampu memagut simpati guru bahasa Inggris, Bu Rubiah, tidak semata-mata disebabkan kecakapannya, melainkan kepiawaian berbahasa Inggris yang rutin diasah dengan mendengarkan siaran pelajaran bahasa Inggris dari Radio Suara Amerika dan BBC London. Melalui Bu Rubiah yang juga anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) itu, Gus Dur berkenalan dengan buku-buku kiri berbahasa asing. Mulai buku berukuran tambun hingga berhalaman ramping.
Sebut saja, misalnya, novel Captain's Daughter karangan I. Turgenev, For Whom The Bell Voice tulisan Ernest Hemingway, atau La Porte Etroite karya Andre Gide. Selain novel, Gus Dur melahap habis buku politik-sosialis, seperti Romantisme Revolusioner buah pena Lenin Vladimir Ilych, Das Kapital karya Karl Marx, senarai pemikiran Lenin bertudung What is to be Done?, serta beberapa jilid buku The Story of Civilization karya Will Durant. Membaca buku-buku tersebut tak berarti tiada kesulitan menghadang. Tapi, bukan Gus Dur bila bergegas patah arang. Beberapa kamus bahasa asing tebal selalu setia mengawalnya.
Pengembaraan Gus Dur di belantara kata kian menemukan habibatnya ketika menyusuri rerimbun buku di pasar loak Jogjakarta. Di sana, dia bersua dengan pemikiran banyak penulis besar dunia. Misalnya, Gramsci, William Faulkner, Ortega Y. Gasset, John Steinbeck, Johan Huizinga, Andre Malraux, William Bochner, Mao Ze Dong, Aristoteles, Plato, Socrates, A.S. Pushkin, Dostoevsky, Trotsky, Leo Tolstoy, dan Mikhail Sholokhov.
Berbekal pengetahuan yang makin membuhul, terampil mengolah kata dan menggerakkan pena, Gus Dur kian lincah. Membaca dan menulis selalu disetimbangkan. Membaca ibarat makan dan menulis adalah sambalnya. Maka, tak heran tradisi baca-tulis Gus Dur yang penyuka makanan pedas itu oleh Wimar Witoelar dikomentari singkat: you can not eat sambal without the food. Selain itu, ulasan Gus Dur terhadap novel-novel karya Faulkner menjadi tonggak tulisan pertama yang dimuat di media massa.
Di altar 1963, Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir. Selama perjalanan, Gus Dur menamatkan buku The Age of Jackson karya Arthur Sclensinger Jr. Tapi sayang, asa kuliah di Universitas Al-Azhar bertepuk sebelah tangan karena ijazah pesantrennya tak diakui. Gus Dur tak kehilangan akal. Dia memulaskan hasrat pengetahuan dengan berselancar di atas samudera buku perpustakaan Universitas Kairo, perpustakaan USIS Kedubes Amerika Serikat, dan perpustakaan musik.
Penjelajahan dunia buku yang begitu lempeng membuat Gus Dur laiknya perpustakaan berjalan. Dia tak menyesal cita-cita menjadi tentara yang diimpikan sejak kecil pupus karena berkacamata minus. Dia menggubah haluan: ingin menjadi guru. Guru bangsa seperti Ki Hajar Dewantara dan kakeknya, KH Hasyim Asy'ari. Gus Dur dan buku memang menyatu. Bahkan, dalam kondisi kritis sebelum meninggal Rabu (30/12/2009), dia masih merajut buku. Tapi, karena fungsi indra penglihatan jauh berkurang, Gus Dur minta diperdengarkan audio book.
Buku-buku itu pula yang membentuk kepribadian Gus Dur. Sekadar tamsil, penghayatan terhadap sosok biarawati Alissa, lakon utama novel La Porte Etroite karya Andre Gide yang menyerahkan diri kepada Tuhan dan menghambakan hidup untuk menolong orang banyak, menginspirasi Gus Dur untuk bersikap serupa. Gus Dur tidak hidup untuk diri dan keluarga, melainkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan membela hak-hak kaum minoritas yang tertindas.
Itulah jawaban kenapa saat pemakaman Gus Dur di Pesantren Tebuireng pada pengujung 2009, ratusan ribu orang lintas agama dan keyakinan tak mengenal sekat, pejabat dan rakyat bercampur baur dan tertumpah ruah. Mereka larut dalam duka. Meski Greg Barton telah meretas Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, sosok Gus Dur sepenuhnya belum tereja. Sebab, Gus Dur adalah buku itu sendiri yang tak pernah tuntas dibaca.
Gus Dur secara fisik memang telah pergi. Diiringi doa dan air mata, dia meninggalkan segala yang dicintai dan semua yang mencintai. Dia mewariskan jejak-jejak keteladanan yang perlu ditapaktilasi. Namun, pada hakikatnya, Gus Dur masih hidup. Hidup di dalam hati. Setidaknya, itulah yang saya rasakan kala terseok-seok meruyak desakan kerumunan pentakziah dan bersimpuh di hadapan tanah merah makam yang masih basah.
Selamat jalan, Tuan Guru Bangsa! (*)
Perkenankanlah aku mencintaimu
Perkenankanlah aku mencintaimu
seperti ini
tanpa kekecewaan yang berarti
harapan-harapan yang setiap kali
dikecewakan kenyataan
biarlah dibayar oleh harapan-harapan
baru yang menjanjikan
Perkenankanlah aku mencintaimu
semampuku
menyebut-nyebut namamu
dalam kesendirian pun lumayan
berdiri di depan pintumu tanpa harapan
kau membukakannya pun terasa nyaman
sekali-kali membayangkan kau memperhatikanku
pun cukup memuaskan
perkenankanlah aku mencintaimu sebisaku
seperti ini
tanpa kekecewaan yang berarti
harapan-harapan yang setiap kali
dikecewakan kenyataan
biarlah dibayar oleh harapan-harapan
baru yang menjanjikan
Perkenankanlah aku mencintaimu
semampuku
menyebut-nyebut namamu
dalam kesendirian pun lumayan
berdiri di depan pintumu tanpa harapan
kau membukakannya pun terasa nyaman
sekali-kali membayangkan kau memperhatikanku
pun cukup memuaskan
perkenankanlah aku mencintaimu sebisaku
Selasa, 15 Desember 2009
Kitab dan Buku
Kitab dan Buku
Mungkin karena banyaknya hal-hal aneh di negeri ini, maka orang seperti tidak merasa aneh lagi dengan adanya penggunaan istilah-istilah yang sebenarnya aneh. Di negeri ini, misalnya, ada istilah sekolah dan madrasah yang pengertiannya setali tiga wang. Maka lucu sekali ketika ada orang mengatakan, “Anak saya sekolah di madrasah anu.”
Anehnya lagi, selaras dengan hal tersebut, di negeri ini di samping ada toko buku, ada pula toko kitab. Orang “sekolahan” kalau mencari buku di toko buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko kitab. Toko buku seperti Gunung Agung, Gramedia, dsb, ketika itu, hanya menjual buku-buku yang bertulisan Latin; sementara yang ada tulisan Arabnya, toko kitablah–seperti Toha Putra, Menara Kudus, Salim Nabhan, dsb.-- yang menjualnya.
Apalagi “kitab kuning”, jangan harap Anda menemukannya di toko buku. Terjemahan-terjemahannya saja pun hanya dijual di toko kitab; karena biasanya terjemahan kitab-kitab kuning yang diterjemahkan tokoh-tokoh pesantren itu pun selalu ada tulisan Arabnya.
Demikianlah; seiring dengan pikiran salah kaprah tentang adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, maka madrasah (dan pesantren) dianggap tempat belajar agama dan kitab yang dijual di toko kitab dianggap bacaan agama. Sedangkan sekolah dianggap tempat belajar umum dan buku yang dijual di toko buku dianggap sebagai bacaan umum.
Baru belakangan--dugaan saya sejak orang-orang Barat menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab seperti kitab-kitabnya Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Mauddudi, dan menarik perhatian “Muslim-muslim kota”-- toko-toko buku seperti Gramedia mulai menjual “kitab-kitab”; terutama kitab-kitab terjemahan “bacaan agama”. Kebanyakan “kitab-kitab” yang dijual di toko buku itu bukanlah kitab-kitab yang biasa dijual di toko kitab. Juga umumnya “kitab-kitab” baru yang mulai dijual di toko buku itu adalah terjemahan dari bahasa Barat utamanya bahasa Inggris; tidak seperti kitab-kitab yang selama ini dijual di toko kitab.
Boleh jadi, ketertarikan orang Barat terhadap kitab-kitab para tokoh semisal Hasan Banna (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966), dan Mauddudi (1903-1979) itu, ada kaitannya dengan gerakan-gerakan militan yang mulai merebak di dunia. Sementara orang-orang kota di kita, umumnya dari kampus-kampus, tertarik menerjemahkan kitab-kitab tersebut mungkin karena merasa cocok. Orang-orang kotalah yang galibnya paling bisa merasakan ketertindasan rezim Suharto. Sehingga ketika mereka membaca kitab-kitab karangan para tokoh yang tertindas itu (Hasan Al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimiin, ditembak, Sayyid Quthub digantung setelah lama mendekam di penjara rezim Jamal Abdun Nasser, dan Al-Maududi nyaris–sudah divonis-- hukuman mati tahun 1953, batal karena protes keras dari dunia Islam).
Maka sekarang ini, bila Anda masuk ke toko buku, Anda akan menjumpai rak-raknya yang penuh dengan “kitab” dan “bacaan agama”; termasuk buku-buku terjemahan dari kitab-kitab kuning.
Waba’du; sengaja saya menyebut nama Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Maududi ketika berbicara tentang “kitab-kitab” yang mulai menyerbu toko-toko buku, karena saya perhatikan seperti ada korelasi antara masuknya pikiran-pikiran para tokoh tertindas tersebut dengan munculnya semangat keberagamaan yang menyala-nyala terutama di kota-kota dan kemudian munculnya paham Islam yang garis keras (termasuk yang “super keras” yang dianut para teroris). Hal ini mengingatkan kepada pikiran-pikiran para tokoh generasi sebelumnya semacam Jamaluddin Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang mempengaruhi dunia Islam pada zamannya. Bahkan, sampai sekarang pengaruhnya masih terasa. (gus nus.net)
Mungkin karena banyaknya hal-hal aneh di negeri ini, maka orang seperti tidak merasa aneh lagi dengan adanya penggunaan istilah-istilah yang sebenarnya aneh. Di negeri ini, misalnya, ada istilah sekolah dan madrasah yang pengertiannya setali tiga wang. Maka lucu sekali ketika ada orang mengatakan, “Anak saya sekolah di madrasah anu.”
Anehnya lagi, selaras dengan hal tersebut, di negeri ini di samping ada toko buku, ada pula toko kitab. Orang “sekolahan” kalau mencari buku di toko buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko kitab. Toko buku seperti Gunung Agung, Gramedia, dsb, ketika itu, hanya menjual buku-buku yang bertulisan Latin; sementara yang ada tulisan Arabnya, toko kitablah–seperti Toha Putra, Menara Kudus, Salim Nabhan, dsb.-- yang menjualnya.
Apalagi “kitab kuning”, jangan harap Anda menemukannya di toko buku. Terjemahan-terjemahannya saja pun hanya dijual di toko kitab; karena biasanya terjemahan kitab-kitab kuning yang diterjemahkan tokoh-tokoh pesantren itu pun selalu ada tulisan Arabnya.
Demikianlah; seiring dengan pikiran salah kaprah tentang adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, maka madrasah (dan pesantren) dianggap tempat belajar agama dan kitab yang dijual di toko kitab dianggap bacaan agama. Sedangkan sekolah dianggap tempat belajar umum dan buku yang dijual di toko buku dianggap sebagai bacaan umum.
Baru belakangan--dugaan saya sejak orang-orang Barat menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab seperti kitab-kitabnya Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Mauddudi, dan menarik perhatian “Muslim-muslim kota”-- toko-toko buku seperti Gramedia mulai menjual “kitab-kitab”; terutama kitab-kitab terjemahan “bacaan agama”. Kebanyakan “kitab-kitab” yang dijual di toko buku itu bukanlah kitab-kitab yang biasa dijual di toko kitab. Juga umumnya “kitab-kitab” baru yang mulai dijual di toko buku itu adalah terjemahan dari bahasa Barat utamanya bahasa Inggris; tidak seperti kitab-kitab yang selama ini dijual di toko kitab.
Boleh jadi, ketertarikan orang Barat terhadap kitab-kitab para tokoh semisal Hasan Banna (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966), dan Mauddudi (1903-1979) itu, ada kaitannya dengan gerakan-gerakan militan yang mulai merebak di dunia. Sementara orang-orang kota di kita, umumnya dari kampus-kampus, tertarik menerjemahkan kitab-kitab tersebut mungkin karena merasa cocok. Orang-orang kotalah yang galibnya paling bisa merasakan ketertindasan rezim Suharto. Sehingga ketika mereka membaca kitab-kitab karangan para tokoh yang tertindas itu (Hasan Al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimiin, ditembak, Sayyid Quthub digantung setelah lama mendekam di penjara rezim Jamal Abdun Nasser, dan Al-Maududi nyaris–sudah divonis-- hukuman mati tahun 1953, batal karena protes keras dari dunia Islam).
Maka sekarang ini, bila Anda masuk ke toko buku, Anda akan menjumpai rak-raknya yang penuh dengan “kitab” dan “bacaan agama”; termasuk buku-buku terjemahan dari kitab-kitab kuning.
Waba’du; sengaja saya menyebut nama Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Maududi ketika berbicara tentang “kitab-kitab” yang mulai menyerbu toko-toko buku, karena saya perhatikan seperti ada korelasi antara masuknya pikiran-pikiran para tokoh tertindas tersebut dengan munculnya semangat keberagamaan yang menyala-nyala terutama di kota-kota dan kemudian munculnya paham Islam yang garis keras (termasuk yang “super keras” yang dianut para teroris). Hal ini mengingatkan kepada pikiran-pikiran para tokoh generasi sebelumnya semacam Jamaluddin Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang mempengaruhi dunia Islam pada zamannya. Bahkan, sampai sekarang pengaruhnya masih terasa. (gus nus.net)
Minggu, 13 Desember 2009
Entahlah Ya Alloh..
Entahlah....Ya Alloh
Sungguh, aku mencintai mereka yang hadir dalam hidupku dengan sepenuh hatiku.
Kebahagiaan mereka, kebahagiaanku juga. Duka nestapa mereka, kesedihanku juga. Pengorbanan mereka belum sanggup aku untuk membalasnya dengan persembahan terbaikku.
Sungguh, aku mencintai kalian dalam diamku, aku menyayangi kalian dalam wajah dinginku, aku menyangga kesedihan kalian dalam do'aku. Walau jarang aku menyapa, walau jarang aku berkata, walau jarang aku tertawa, sungguh, aku selalu hadir di dekat kalian.
Melihat mereka, merasakan rasa mereka, sering menghadirkan keharuan yang menyeruak di sudut sunyi hati ini. Rasa sesak di dalam dada dan terkadang memaksa sudut mata ini untuk menitikkan sebulir air. Entah apa namanya…. air mata keharuan, air mata kesedihan atau sekedar air mata kecengengan belaka.
Lebih sedih lagi, kalau kulihat diri ini sendiri, kalu kulihat hati ini sendiri.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan noda dan dosa.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan cela.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan gelegak nafsu yang membara.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan bahan bakar neraka.
Entahlah.....
Aku Hanya Bisa Berbaik sangka padaMU,..
Sungguh, aku mencintai mereka yang hadir dalam hidupku dengan sepenuh hatiku.
Kebahagiaan mereka, kebahagiaanku juga. Duka nestapa mereka, kesedihanku juga. Pengorbanan mereka belum sanggup aku untuk membalasnya dengan persembahan terbaikku.
Sungguh, aku mencintai kalian dalam diamku, aku menyayangi kalian dalam wajah dinginku, aku menyangga kesedihan kalian dalam do'aku. Walau jarang aku menyapa, walau jarang aku berkata, walau jarang aku tertawa, sungguh, aku selalu hadir di dekat kalian.
Melihat mereka, merasakan rasa mereka, sering menghadirkan keharuan yang menyeruak di sudut sunyi hati ini. Rasa sesak di dalam dada dan terkadang memaksa sudut mata ini untuk menitikkan sebulir air. Entah apa namanya…. air mata keharuan, air mata kesedihan atau sekedar air mata kecengengan belaka.
Lebih sedih lagi, kalau kulihat diri ini sendiri, kalu kulihat hati ini sendiri.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan noda dan dosa.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan cela.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan gelegak nafsu yang membara.
Sungguh… dalam hati ini masih banyak tersimpan bahan bakar neraka.
Entahlah.....
Aku Hanya Bisa Berbaik sangka padaMU,..
Langganan:
Postingan (Atom)